Tren gaya hidup sehat yang tumbuh di Jakarta dan sekitarnya, berpadu dengan kemacetan kronis, menginspirasi sejumlah anak muda membesut Black Garlic (BG) –perusahaan rintisan yang bergerak di layanan antar bahan baku makanan siap masak, lengkap dengan bumbu dan panduan memasaknya. Berbekal “kotak ajaib” dari BG, pelanggan bisa memasak berbagai makanan yang nikmat, berbahan baku segar dan aman, hanya dalam beberapa puluh menit. Popularitas BG cepat merebak, dan kini perusahaan ini melayani ribuan pelanggan di Jabodetabek.
Olivia Wongso (tengah), Chief Operation Officer Black Garlic
Pembesut BG adalah sosok-sosok yang sudah tenar di jagat startup dan kuliner Indonesia. Sebut saja, Michael Saputra (33 tahun) dan Willy Haryanto (35 tahun) yang masing-masing menjabat sebagaichief executive officer dan chief technology officer. Sebelumnya, dua sekawan itu sukses membesut Klick Eat, jasa layan antar makan daring (dalam jaringan/online) yang kemudian diakuisisi perusahaan Jepang, Yumenomachi Souzou Iinkai. Kemudian, Ardo Adiwidjaja (33 tahun), chief operating officer, sebelumnya profesional di perusahaan multinasional. Ada juga Olivia Wongso (39 tahun), putri pakar kuliner kenamaan William Wongso, sebagai chief production officer. Olivia sebelumnya menangani berbagai bisnis kuliner keluarga Wongso seperti bakery, restoran dan katering. Ayah Olivia sendiri berperan aktif sebagai konsultan kuliner BG.
Sejak awal, BG menyasar pasar yang berbeda dari kebanyakan layanan antar makanan lainnya. Lazimnya, pebisnis layan antar makanan, baik daring maupun konvensional, menjanjikan hidangan siap santap yang diantarkan ke depan pintu pelanggannya. BG mengantarkan bahan makanan siap masak lengkap dengan bumbu dan panduan memasaknya disertai foto-foto. Tujuannya, BG ingin memberikan opsi makan sehat tetapi praktis bagi masyarakat. “Kami ingin membuat produk dan layanan yang dapat membantu rumah tangga di Jakarta mengikuti gaya hidup sehat dengan membuat pilihan yang lebih sehat,” ungkap Olivia kepada SWA di kantornya di Jalan Cisanggiri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Langkah awal memang selalu yang tersulit. Tim BG berulang kali melakukan proses uji coba resep, waktu memasak, pencarian bahan baku, pengemasan, hingga pengantaran ke konsumen. Dan, sebelum bahan-bahan meluncur ke dapur pelanggan, William Wongso memegang “stempel” akhir lolos-tidaknya sebuah masakan. Setelah berupaya tanpa henti, pada Juli 2015 BG resmi meluncur dan melayani konsumen di Jabodetabek.
Melalui situs webnya www.blackgarlic.id, BG menawarkan berbagai menu untuk sarapan, makan siang hingga makan malam, bahkan hidangan pencuci mulut dan menu anak-anak. Tersedia pula menu mingguan yang menawarkan 11 menu, tujuh di antaranya untuk makan malam dan sisanya menu sarapan, hidangan pencuci mulut, dan anak-anak.
Setelah pelanggan memesan dan membayar melalui situs webnya, BG mengirim satu kotak BG yang bisa berisi 2-8 menu, tergantung pada jumlah orang yang akan bersantap. “Jadi, sistemnya seminggu sekali boks dikirimkan, bahan makanannya semua dipindahkan ke dalam kulkas, yang bisa tahan lima hari. Terserah customer mau masaknya kapan sesuai dengan jadwal rumah tangga masing-masing,” Olivia menjelaskan.
Variasi menu BG mulai dari sajian Indonesia, Asia, hingga barat. Contohnya, untuk periode 14-18 Februari, BG membuka tawaran menu Italia, yakni chicken diablo with sauteed mushroom & lime mayo sauce; menu Asia, braised fish with sweet soyu & sauteed bok choy, kari ayam dengan roti jala; menu anak, tersedia salmon asap dan telur orak-arik, serta menu pencuci mulut, puding kelapa Brasil. Harga menu dibanderol Rp 25 ribu-300 ribu per orang.
Lantaran menyasar segmen menengah sekaligus menjaga variasi, menu yang diusung BG relatif istimewa. “Black Garlic tidak menghadirkan menu sembarangan karena kami ciptakan menu yangexciting, menu yang biasanya jarang orang bisa masak sendiri di rumah,” ujar Olivia.
Sekalipun pelanggan BG bukan ahli masak, Olivia menjamin masakannya akan memuaskan penikmatnya. Tentu saja, selama ketentuan memasak diikuti langkah demi langkah. “Kami bisa jamin 90%-95% hasilnya enak karena setiap menu yang kami kirim itu sudah dites minimum empat kali di dapur kami. Prosesnya cukup lama; dari menu creation, R&D, hingga menjadi produk bisa memakan waktu satu bulan lebih untuk satu menu,” katanya.
Michael Saputra, sang CEO, menuturkan, saat ini pemasaran BG lebih mengandalkan promosi getok tular antarpelanggan. Namun, BG juga menggunakan selebritas sebagai endorser di media sosial. Metode promosi yang tergolong baru, sejak Februari ini, BG menggandeng beberapa koki selebritas untuk menghadirkan menu andalan mereka di BG. “Jadi, setiap bulan ada satu atau dua menu dari Masterchef Indonesia,” kata Michael.
Kolaborasi dengan merek-merek bahan makanan terkemuka pun dijalin. Blue Band, yang kerap menawarkan menu pengolahan makanan menggunakan margarin, salah satunya. BG membantu dari sisi penyediaan bahan makanan sesuai dengan resep Blue Band dan eksekusi pemasakannya agar jadi lebih mudah dimasak oleh konsumen.
Michael mengaku, BG telah melayani lebih dari 2.700 pelanggan dengan 22.000 menu lebih dan omset rata-rata Rp 1,5 miliar per bulan. Kinerja gemilang itu pun menarik perhatian pemodal ventura. Pada awal 2016, perusahaan rintisan ini mendapat suntikan dana dari Skystar Capital dan Convergence Ventures. Selain dukungan dari dua perusahaan investasi tersebut, ada juga kucuran modal dari sejumlah investor perseorangan.
Michael mengungkapkan, BG akan terus berekspansi. Saat ini, pihaknya masih fokus mengembangkan pasar dan membangun merek di kawasan Jabodetabek. Setelah itu, baru merambah kota-kota besar lain di Pulau Jawa.